Assalamu'alaikum
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan.
Saya dan istri saya adalah anggota salah sebuah jama'ah dakwah yang juga adalah salah sebuah partai Islam. Akhir-akhir ini kenyamanan saya sebagai anggota agak terganggu karena beberapa kali saya dijatuhi sanksi oleh jama'ah. Bagi saya sebagai manusia wajar punya salah dan siap diperbaiki, namun yang agak kurang bisa saya terima adalah sanksi itu disampaikan oleh pembina grup tanpa melalui proses pengadilan. Saya tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan atau konfirmasi, dan saya juga tidak diberi nasihat atas kesalahan saya, bahkan saya tidak diberitau apa kesalahan saya. Apakah berdosa jika saya tidak berjama'ah dan meninggalkan jama'ah ini? Terima kasih ustad atas jawabannya.
wassalamu'alaikum
Rahmat jatmiko
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Rahamat Jatmiko yang dirahmati Allah swt
Ketidakberadaan Khilafah Islamiyah saat ini menandakan hilangnya Jamatul Muslimin dimana seluruh kaum muslimin berada dibawah satu kepemimpinan seorang khalifah atau imam serta menjadikan umat tercerai-berai dan terpisah-pisah menjadi beberapa pemerintahan di negeri-negeri mereka. Padahal islam tidaklah menghendaki kecuali hanya satu pemerintahan.
Tidak adanya Jamaatul Muslimin seperti sekarang ini sesungguhnya telah diprediksi oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam didalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Huzaifah bin Yaman yang berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.”
Keadaan seperti ini menjadikan mereka-mereka yang merindukan kembalinya kejayaan islam di alam ini harus berjuang sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok dibawah kendali dan arahan dari para pemimpin kelompoknya masing-masing. Diantara mereka ada yang kemudian menamakan kelompoknya itu dengan jamaah, jam’iyah, ormas, partai atau lainnya. Namun demikian itu semua—apa pun namanya—tidaklah bisa disebut dengan Jamaatul Muslimin yang mengikat seluruh kaum muslimin akan tetapi ia hanyalah Jamaah Minal Muslimin (Jamaah dari sekelompok kaum muslimin).
Keberadaan Jamaah Minal Muslimin ini adalah sunatullah bagi mereka yang menginginkan agar tujuan besar diatas dapat tercapai. Dengan berkumpulnya sekelompok kaum muslimin didalam suatu Jamaah Minal Muslimin menjadikan seluruh potensi yang ada pada masing-masing mereka dapat dioptimalkan dengan satu kerja yang rapih dan baik untuk mencapai satu tujuan yang telah digariskan oleh jamaahnya.
Namun demikian terdapat perbedaan dalam hal keterikatan (baca : baiat) antara Jamaatul Muslimin dengan Jamaah Minal Muslimin. Baiat dengan Jamaatul Muslimin adalah baiat imam yang dilarang bagi seorang muslim pun melepaskannya dan hanya diberikan kepada satu orang imam, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hadits tentang permasalahan baiat ini, diantaranya :
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa keluar dari ketaatan dan tidak mau bergabung dengan Jama'ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.”
Imam muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melepas tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah di hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barang siapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka ia mati seperti mati jahiliyyah."
Adapun baiat dengan Jamaah Minal Muslimin saat ini adalah baiat amal atau baiat untuk beramal islami dalam ruang lingkup kerja sama untuk melakukan suatu kebajikan dan ketakwaan kepada Allah swt, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah : 2)
Berbeda halnya dengan baiat terhadap Jamaatul Muslimin yang mengikat dan tidak boleh melepaskannya maka baiat terhadap Jamaah Minal Muslimin adalah baiat yang tidak ada ikatan antara orang yang membaiat dan yang dibaiat kecuali hanya ikatan kerja yang disepakatinya, dalam hal ini adalah kerja da’wah atau kerja islami. Sehingga tidak ada keharusan baginya untuk terus menerus mengikuti orang yang dibaiat itu walaupun orang itu telah melanggar kesepakatan baiat yang ada. Dalam keadaan dimana terjadi penyimpangan terhadap kesepakatan baiat maka dibolehkan baginya untuk melepaskan baiatnya itu dan keluar atau memisahkan diri dari jamaah tersebut bahkan bisa jadi keluar darinya menjadi sebuah keharusan manakala dia melihat bahwa keberadaannya didalam jamaah tersebut justru akan semakin menjauhkannya dari Allah swt dan dari tujuannya sebagai seorang dai yang menyeru ke jalan-Nya.
Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mendengar dan taat adalah haq (kewajiban) selama tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila diperintah berbuat maksiat maka tidak ada (kewajiban) untuk mendengar dan taat".
Said Hawwa mengatakan bahwa akan halnya baiat untuk melakukan amal shalih, maka seseorang boleh mengambilnya dari siapapun. Keduanya tidak lalu terikat secara individu.
Demikianlah dinyatakan oleh para ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi : “seseorang memberikan perjanjian (baiat) baiat kepada syeikh. Di saat yang bersamaan dia memberikan baiat kepada Syeikh yang lain. Dari dua perjanjian itu manakah yang mengikat? Mereka menjawab bahwa tidak ada satu pun yang mengikatnya. Hal itu tidak berdasar.”
Berdasarkan keterangan ini maka setiap baiat yang diterima oleh para syeikh dari para muridnya atau yang diterima para pemimpin dari pengikutnya tidaklah bersifat mengikat….
Zaman sekarang tahta khilafah telah tiada. Para Fuqoha madzhab Syafi’i telah menulis bahwa dalam keadaan seperti ini hukum khilafah diberikan kepada orang yang paling alim di zamannya. Sementara madzhab Hanafi berprinsip bahwa seseorang tidak dianggap khalifah kecuali setelah seluruh perintahnya dipatuhi, yakni setelah kekuasaan eksekutif dimiliki. Sebelum hal ini terwujud, maka baiat yang diakui hanyalah baiat amal. (Membina Angkatan Mujahid, Said Hawwa, hal. 131– 132)
Rabu, 29 September 2010
Kafarat Melakukan Onani di Siang Hari di Bulan Ramadhan
assalamualaikum ustadz,
saya seorang pemuda berumur 20 th dan blm menikah, saat bulan ramadhan kali ini saya pernah menonton film porno, awalnya saya berniat menahan tetapi saya merasa belum bisa 100% untuk itu, akhirnya saya menontonya pada siang hari,,dan setelah menonton saya melakukan onani
pertanyaanya :
1.puasa saya kan jelas batal ustadz, apakah saya wajib menggantinya di hari lain?,, atau saya harus membayar kafarat?..
2.apakah jika saya membayar kafarat, apa besarnya sama seperti pasangan suami istri yang bersetubuh di siang hari?..
3.kafarat seperti apa yang harus saya bayar ustadz?
wassalamualaikum wr.wb
Tri S
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Menonton film porno termasuk perbuatan muqoddimah zina yang diharamkan Allah swt dan yang harus dijauhi oleh seorang muslim terlebih dalam keadaan dirinya berpuasa menjalan perintah-Nya di bulan suci Ramadhan.
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
Imam Bukhori meriwayatka dari Abu Hurairoh berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah penglihatan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)
Seorang yang berpuasa tidak hanya dituntut menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membatalkan puasanya saja, seperti : makan, minum, jima namun ia juga dituntut untuk menghindari dirinya dari berbagai perbuatan dosa dan pelanggaran karena dengan begitu dirinya akan mencapai tujuan dari disyariatkannya puasa, yaitu : takwa.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala puasanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan pahala shalat malamnya selain bergadang semata."
Keimanan dan ketakwaanlah yang mendorong dirinya untuk mengisi hari-hari puasanya dengan amal-amal ketaatan kepada Allah swt dan menghindari perbuatan dosa. Sebaliknya kemaksiatan dan perbuatan dosa yang dilakukan seseorang pada dasarnya menandakan ketiadaan iman didalam dirinya ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu setiap hamba yang melakukan perbuatan maksiat dan dosa dituntut untuk memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah swt karena perbuatan yang dilakukannya itu adalah bentuk pelecehen terhadap aturan-aturan atau rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Selain memohon ampunan dari Allah swt dan bertaubat kepadanya dengan taubat nasuha dari perbuatan menonton film porno dan onani di siang hari Ramadhan maka anda pun diharuskan untuk mengganti (qodho) puasa hari itu di luar hari-hari ramadhan, sebagaimana kesepakatan ulama yang menyatakan bahwa onani dapat membatalkan puasa meskipun mereka berbeda pendapat tentang kewajiban kafarat didalamnya.
Dan pendapat yang kuat dalam hal ini—wallahu a’lam—adalah diwajibkan baginya qodho saja tanpa adanya kafarat dikarenakan perintah kafarat tersebut berlaku terhadap orang-orang yang berjima di siang hari Ramadhan, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra. berkata, ”Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Aku telah binasa wahai Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang mencelakakanmu?’ Orang itu berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya, ’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’ Nabi bertanya, ’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata, 'Nah shodaqohkanlah ini.' Orang itu berkata, 'Adakah orang yang lebih miskin daripada kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami.” Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, ’Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.'” (HR Jama’ah)
Wallahu A’lam
saya seorang pemuda berumur 20 th dan blm menikah, saat bulan ramadhan kali ini saya pernah menonton film porno, awalnya saya berniat menahan tetapi saya merasa belum bisa 100% untuk itu, akhirnya saya menontonya pada siang hari,,dan setelah menonton saya melakukan onani
pertanyaanya :
1.puasa saya kan jelas batal ustadz, apakah saya wajib menggantinya di hari lain?,, atau saya harus membayar kafarat?..
2.apakah jika saya membayar kafarat, apa besarnya sama seperti pasangan suami istri yang bersetubuh di siang hari?..
3.kafarat seperti apa yang harus saya bayar ustadz?
wassalamualaikum wr.wb
Tri S
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Menonton film porno termasuk perbuatan muqoddimah zina yang diharamkan Allah swt dan yang harus dijauhi oleh seorang muslim terlebih dalam keadaan dirinya berpuasa menjalan perintah-Nya di bulan suci Ramadhan.
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)
Imam Bukhori meriwayatka dari Abu Hurairoh berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah penglihatan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)
Seorang yang berpuasa tidak hanya dituntut menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membatalkan puasanya saja, seperti : makan, minum, jima namun ia juga dituntut untuk menghindari dirinya dari berbagai perbuatan dosa dan pelanggaran karena dengan begitu dirinya akan mencapai tujuan dari disyariatkannya puasa, yaitu : takwa.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala puasanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan pahala shalat malamnya selain bergadang semata."
Keimanan dan ketakwaanlah yang mendorong dirinya untuk mengisi hari-hari puasanya dengan amal-amal ketaatan kepada Allah swt dan menghindari perbuatan dosa. Sebaliknya kemaksiatan dan perbuatan dosa yang dilakukan seseorang pada dasarnya menandakan ketiadaan iman didalam dirinya ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu setiap hamba yang melakukan perbuatan maksiat dan dosa dituntut untuk memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah swt karena perbuatan yang dilakukannya itu adalah bentuk pelecehen terhadap aturan-aturan atau rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Selain memohon ampunan dari Allah swt dan bertaubat kepadanya dengan taubat nasuha dari perbuatan menonton film porno dan onani di siang hari Ramadhan maka anda pun diharuskan untuk mengganti (qodho) puasa hari itu di luar hari-hari ramadhan, sebagaimana kesepakatan ulama yang menyatakan bahwa onani dapat membatalkan puasa meskipun mereka berbeda pendapat tentang kewajiban kafarat didalamnya.
Dan pendapat yang kuat dalam hal ini—wallahu a’lam—adalah diwajibkan baginya qodho saja tanpa adanya kafarat dikarenakan perintah kafarat tersebut berlaku terhadap orang-orang yang berjima di siang hari Ramadhan, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra. berkata, ”Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Aku telah binasa wahai Rasulullah!’ Nabi menjawab, ’Apa yang mencelakakanmu?’ Orang itu berkata, ’Aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan.’ Nabi bertanya, ’Adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Nabi bertanya lagi, ’Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?’ Orang itu menjawab, ’Tidak,’ Nabi bertanya, ’Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ’Tidak.’ Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata, 'Nah shodaqohkanlah ini.' Orang itu berkata, 'Adakah orang yang lebih miskin daripada kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami.” Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, ’Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.'” (HR Jama’ah)
Wallahu A’lam
Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil
oleh Mas Kuri pada 26 Agustus 2010 jam 1:39
- Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat kita justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan yang semuanya itu karena kurangnya pemahaman ajaran Islam di dalam setiap keluarga di Indonesia (sampai saat artikel ini ditulis).Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita simak pembahasannya !!Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat.
Pertama: Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu?min.”(QS: An Nur : 3.)
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.”
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta\’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS: Asy Syruraa : 21)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta\’ala menjadikan orang-orang yang membuat syari?at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.
Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.
Kedua: Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya.
Rasulullah bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid. “ (Lihat Mukhtashar Ma\’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.) )
Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabdanya: Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.” (Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.)
Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari ?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.”
Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Sumber Rujukan:
*
Minhajul Muslim.
*
Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584, Fatawa Islamiyyah 3/247, Al Fatawa Al Jami\’ah Lil Mar\’ah Al Muslimah 2/5584.
*
Fatawa Islamiyyah 3/246.
*
Syiakh Al Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah 3/246.
*
Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/583, Majmu Al Fatawa 32/110.
*
Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.)
*
Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.
*
Fatawa Wa Rasail Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim 10/128.
- Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat kita justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan yang semuanya itu karena kurangnya pemahaman ajaran Islam di dalam setiap keluarga di Indonesia (sampai saat artikel ini ditulis).Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita simak pembahasannya !!Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat.
Pertama: Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu?min.”(QS: An Nur : 3.)
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.”
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta\’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS: Asy Syruraa : 21)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta\’ala menjadikan orang-orang yang membuat syari?at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.
Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.
Kedua: Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya.
Rasulullah bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid. “ (Lihat Mukhtashar Ma\’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.) )
Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabdanya: Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.” (Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.)
Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari ?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.”
Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Sumber Rujukan:
*
Minhajul Muslim.
*
Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584, Fatawa Islamiyyah 3/247, Al Fatawa Al Jami\’ah Lil Mar\’ah Al Muslimah 2/5584.
*
Fatawa Islamiyyah 3/246.
*
Syiakh Al Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah 3/246.
*
Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/583, Majmu Al Fatawa 32/110.
*
Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.)
*
Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.
*
Fatawa Wa Rasail Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim 10/128.
Langganan:
Komentar (Atom)